The Prophecy

vall
3 min readApr 21, 2024

--

Recommended song:

Taylor Swift — The Prophecy

Jizan membuka lembar demi lembar kertas usang yang ia temukan dari laci meja belajar—yang tak kalah usangnya—yang sudah ia gunakan nyaris selama 12 tahun ini.

Netranya menyusuri susunan kata per kata diatasnya, menelisir seluruh makna yang ia tuangkan didalamnya selama bertahun-tahun lamanya ia simpan sendiri, dengan penerima yang sudah jelas namun alamatnya pun tak pernah ia torehkan.

Dear, Sevano.

Senyum hangat merekah di wajah yang tak pernah sekalipun menunjukkan air kesedihan kepada siapapun yang ia kenal tersebut, seumur hidupnya.

Namun kini, kesedihan itu mau tak mau ia luapkan.

Ia susun seluruh lembaran tersebut menjadi satu, lalu ia masukkan kedalam sebuah amplop lusuh berwarna coklat, kemudian raganya beranjak keluar dari ruangan yang tak lagi akan ia singgahi di sisa hidupnya.

“Sevano, lo dimana?”

Suara parau terdengar dari benda pipih di rungunya, terdengar serak namun jelas seluruh diksinya. Tak ada keraguan ia temui dari suara tersebut.

“Gue di tempat biasa, gazebo rumah gue.”

“Ya udah, tungguin di situ. Gue mau nganterin sesuatu buat lo.”

Sevano mengernyit, menyadari ketegasan suara tersebut kini berubah menjadi amarah. Segera ia bereskan seluruh barang yang tercecer berantakan didepannya, yang berhubungan dengan masa depannya.

Dokumen perusahaan dan dokumen data penting keluarganya.

Selesainya ia masukkan semua dokumen tersebut ke dalam boks-boks kertas, terdengar suara pijak kaki yang bisa ia ketahui sang pemiliknya.

“Lo, gue bilang juga apa? Lo dari dulu ga pernah dengerin gue.”

Alis tebal Sevano tertaut, merasa tak adil namun netranya berusaha mencari arti dari pandangan sahabat sejak kecilnya yang menatap lurus kearahnya, seakan siap menghunus apapun yang akan ia lakukan saat ini.

Jeff menaruh kasar sebuah amplop coklat yang ia bawa di gazebo, tepat di depan Sevano yang masih terduduk di atasnya.

“Dari dulu gue bilang untuk kejer kebahagiaan lo. Sekarang, kebahagiaan lo hilang entah kemana.”

Netra Sevano melebar, tersentak akan kalimat Jeff barusan. Dengan kepanikan terpancar kental dari seluruh gestur badannya kini, ia buka amplop tersebut dengan kasar, meraih seluruh isinya, kemudian memandangi berlembar-lembar surat lusuh tersebut.

Yang Jeff lihat kini, tak hanya kepanikan yang ia temui di raga Sevano, namun seluruh rasa sedih, hancur, hilang, dan juga runtuh, menjadi satu kesatuan di raganya.

Bulir bening serentak berkejar-kejaran menghujani pipi putih pucat pemuda tersebut saat membaca satu persatu surat tersebut. Kemudian ia baca kalimat yang tertera di bagian depan amplop setelah ia selesai membaca semua surat-surat tersebut.

Love letters, that I wish can be a coin to changing our prophecy.
- Jizan

Dengan cepat ia buka benda pipih yang sedari tadi tak ia hiraukan kehadirannya, lalu menemukan 4 buah pesan terakhir dari Jizan.

Rasa panik semakin mengubun-ubun memenuhi pikiran Sevano. Dengan cepat jarinya bergulir mencari kontak Jizan, berusaha menghubunginya, namun berakhir mendengar nomor tersebut sudah tidak terdaftar.

Sevano sontak hancur. Dunianya, hancur.

Jeff menghampiri sahabatnya, memeluknya erat. Entah apakah ia bisa memberi rasa nyaman agar sahabatnya tersebut bisa merasakan jika dunianya tak seluruhnya hancur. Namun, sepersekian detik lainnya seakan berkata bahwa dirinya tak cukup mampu untuk membantu sahabatnya.

“Dia… sekarang……… dimana?”

Jeff menggelengkan kepala dengan penuh rasa terpaksa yang seakan bisa menusuk hatinya saat ini juga. Ia yakin, jawabannya ini jelas semakin meluluhlantakkan semua dunia yang Sevano bangun habis-habisan selama ini.

Saking habis-habisannya, ia tak menyadari jika ada jiwa yang menunggu untuk menjadi penghibur, teman, tulang, keringat, pendengar, dan darah.

Menunggu untuk bisa digambarkan sebagai Sang Rumah.

Semakin histeris isakan tangis terdengar dari balik badan Jeff. Tanpa perlu komando, Jeff semakin eratkan pelukan tersebut.

Besarnya harapan Jeff panjatkan, berisikan penuh dengan harapan akan koin yang Jizan usahakan, mampu menggerakkan ramalan kelam keduanya menjadi ramalan indah nan hangat yang penuh dengan bunga bersemi didalamnya.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

vall
vall

Written by vall

hello, vall's here. all chapters in here is based on my AU on X. So, if you want to read more, u can come to @vaxxsh on X. xoxo

No responses yet

Write a response