Ting tong!
Bel apartment Rex berbunyi, namun semakin lama, bunyi bel itu semakin sering. Rex memutar bola matanya, masih tak percaya mereka masih bertingkah seperti itu di umur mereka yang sudah segini.
“Tau sabar ga anjing? Didenger tetangga!”
Kalimat penyambut Rex disambut kekehan puas Prince, sambil mendahului yang empunya, disusul Lucas dan Alvaro, masuk ke dalam. “Sorry, gue takut ngeganggu tetangga, makanya gue ngomong gitu ke Prince. Masuk aja.”
Hadrian, Justin, dan Drew turut masuk ke dalam. Sesampainya di dalam apartment Rex, Drew melihat sekitar ruangan, yang dipenuhi dengan dinding dan perabotan berwarna broken white dan abu-abu, terkesan hangat namun juga dingin di mata Drew. Anggap dirinya aneh, namun ia juga tinggal seorang diri di apart, jadi ia merasa sedikit familiar dengan feeling yang ada di apart Rex.
“Ga ada macem-macem di apart gue ya, gue mau siapin minum sama makanan dulu,” ujar Rex mengingatkan teman-temannya, sambil berlalu ke arah dapur.
“Kita ga ngerepotin lo kan, Rex? Sorry banget jadi nongkrong di tempat lo,” sahut Hadrian. Tampak pemuda bersurai hitam dengan kulit putih pucat itu menampakkan wajahnya ke arah ruang tengah–yang memang tersambung langsung ke dapur, tanpa pembatas–masih dengan tangan yang penuh memegang sebotol kola berukuran 1 liter dan beberapa bungkus snack, “Ga kok. Nyantai aja, emang biasa kayak gini dan gue tinggal sendiri disini, jadi anggep aja rumah sendiri.”
Namun tak lama, terdengar sedikit suara rusuh di dapur. Dengan sigap, Drew langsung menghampiri Rex. “Perlu gue bantu? Pasti bawaan lo banyak,” tawarnya.
“Ga perlu, gue bisa sendiri.”
Drew hanya mengangguk sambil memperhatikan Rex menyiapkan semuanya.
“Kenapa lo ga dateng?”
Rex tak sedikit pun menoleh, “Harusnya sih lo udah denger kenapa gue ga dateng.”
“You should come next time,” ujar Drew, melihat tangan Rex yang semakin cepat membereskan snack-snack yang ada didepannya. “What I said last time, I really meant it.”
“Gue rasa gue ga ada keharusan untuk dateng,” sahut Rex pendek. Kemudian pemuda tersebut dengan buru-buru, menaruh botol kola besar yang di jepit di antara lengan dan badan, dengan tangan kanan membawa beberapa bungkus snack dan tangan kiri membawa beberapa buah mug. Namun, tiba-tiba saja kola yang di apit oleh Rex, nyaris terjatuh ke lantai, sebelum terlebih dahulu di tangkap oleh Drew.
“Gue bantuin,” ujar Drew tanpa meminta persetujuan lagi dari Rex, mengambil semua mug yang ada di tangah Rex dengan tangannya yang sedikit lebih lebar dibandingkan Rex, kemudian berlalu terlebih dahulu ke ruang tengah. Rex menatap punggung pemuda tersebut dengan pandangan tak suka, namun memilih melanjutkan langkah.
“NAH INIII YANG GUE TUNGGU, CHITOS GUEEEE,” seru Prince, mengambil 2 bungkus Chitos keju yang dibawa Rex, lalu kembali ke arah TV berukuran nyaris sebesar dinding di belakangnya yang sangat luas, menyalakan Netflix. Rex hanya menggeleng heran.
“Thank you, Rex!” sahut Justin, sambil menyuapi Lucas beberapa buah bola cokelat Silverqueen. Rex melihat nya jengah, “Pacaran tapi ga ada kata kebobolan ya disini.”
Justin otomatis tergelak, Lucas hanya nyengir, lalu menarik pinggang Justin lebih dekat ke arahnya. Langsung Rex lemparkan bantal sofa yang ada di dekat nya ke arah Lucas yang ikut tergelak tertawa bersama Justin. “Tenang ae, ga seru kalo ga di kandang sendiri.”
Manik coklat si pemuda Aussie yang sedang sibuk menuang kola ke mug, langsung melebar, “Weh, nyebut lo! Buset dah, umur lo paling muda disini asal lo inget.”
Lucas memutar mata malas lalu melepas pegangan di pinggang Justin, kemudian mengambil gelas untuk kola nya.
Hadrian menepuk bahu Rex pelan, “Rex, ini boleh nyebat kan ya? Mulut gue asem.”
Rex mengangguk sambil menunjuk ke arah balkon, “Disitu aja. Gue juga kalo nyebat disitu.”
Alvaro beranjak membawa gelas kola miliknya, “Bareng, gue juga asem.”
Tinggal raga Rex dan Drew yang terdiam di atas sofa.
“Lo ga nyebat?” Drew memecah sunyi terlebih dahulu.
“Ga, gue ga nyebat didepan mereka.”
Dahi Drew mengernyit, “Kenapa? Tapi tadi lo bilang lo nyebat.”
Rex mengangguk, “Tapi kalo lagi butuh aja. Kalo lagi sama mereka, gue ga butuh.”
Drew masih mencerna maksud dari jawaban Rex barusan, namun kemudian memutuskan untuk mengangguk paham.
“Lo sendiri? Kemarin nyebat bareng Hadrian terus.”
Alis Drew sukses naik, berarti kemarin pemuda ini memperhatikannya?
Melihat ekspresi Drew, Rex buru-buru meralat perkataannya, “Kemarin gue liat semua juga nyebat.”
Terlanjur terbang pikirnya, Drew hanya mengangguk, namun dalam hatinya, entah kenapa merasa sedikit senang mendengar kalimat tadi. “Ga dulu, gue juga lagi ga pengen nyebat.”
Rex hanya diam, tak mau melanjutkan. Hingga kemudian ia nyaris bangun untuk mengambil Nintendo miliknya di kamar, saat Drew menyuarakan beberapa kata yang sukses membuatnya pusing–lagi–dengan ekspresi yang sangat kentara khas, menatap ke arah Rex.
“Soalnya orang yang lagi gue incer, juga lagi ga nyebat. Nemenin dia juga asem gue dah ilang kok.”